Dalam dunia IT yang cenderung dinamis, pembelajaran akan teknologi baru sudah menjadi keharusan jika tidak ingin tertinggal ditengah arus inovasi teknologi yang ada. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia IT sebagai konsultan teknis, engineer maupun profesi sejenis lainnya seperti saya, keberadaan suatu lab merupakan sarana pembelajaran yang baik guna memahami look & feel serta cara kerja dari suatu solusi maupun produk IT tertentu. Tidak hanya itu, keberadaan suatu lab juga cukup berguna ketika dibutuhkan simulasi atau penerapan suatu konfigurasi tertentu dalam dari solusi IT tertentu sebelum nantinya diaplikasikan dalan lingkungan production di datacenter misalnya.
Berbicara mengenai keberadaan lab untuk tujuan diatas, setidaknya terdapat dua jenis format lab yang umumnya digunakan, yaitu lab fisik serta lab virtual. Masing-masing format lab tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan tersendiri.
Lab fisik misalnya umumnya memiliki keunggulan dalam memberikan tingkat experience yang lebih baik namun relatif tidak murah dari sisi biaya penyediaannya. Tidak hanya itu, kekurangan lainnya berupa pemenuhan akan tempat berikut beban biaya listrik dan pendingin juga perlu menjadi perhatian. Namun demikian, solusi penyediaan lab fisik tetap menjadi opsi ideal khususnya ketika dihadapkan dengan sejumlah skenario tertentu seperti performance monitoring atau benchmark.
Sementara itu, lab virtual menghadirkan sejumlah kelebihan seperti portabilitas, kemudahan dalam hal proses deployment ulang, hingga biaya penyediaan dan operasional yang lebih murah. Hal menarik lainnya dari lab virtual adalah kondisi dimana kita dapat melakukan suspend atau pause terhadap sejumlah VM yang berjalan diatas lab dimaksud untuk kemudian dilanjutkan dilain waktu.
Boleh jadi sejumlah keunggulan tersebut menjadi alasan utama sejumlah pihak lebih cenderung memilih opsi lab virtual ini. Saya sendiri termasuk dari sebagian orang yang memilih penyediaan lab secara virtual.
Berbicara mengenai pembangunan suatu lab virtual (khususnya untuk penggunaan rumahan atau biasa disebut home lab), saat ini saya melihat relatif cukup banyak software virtualisasi yang dapat digunakan untuk tujuan dimaksud. Ada yang berupa software virtualisasi yang memang dirancang untuk environment desktop seperti VMware Workstation/Player, Oracle VirtualBox, Microsoft Virtual PC hingga Parallels dan VMware Fusion untuk platform MacOS. Namun tidak tidak jarang juga saya mendapati penggunaan bare metal hypervisor yang lazim digunakan pada lingkungan server (seperti VMware ESXi, Microsoft HyperV, KVM, Xen dan lain-lain) juga dapat diterapkan pada lingkungan home lab yang dibuat.
Dari sekian banyak software virtualisasi yang tersedia, menurut saya VMware Workstation merupakan salah satu pilihan yang sangat menarik. Saya berpendapat demikian berhubung hampir semua jenis skenario simulasi diatasnya yang saya jalankan sejauh ini dapat terealisasikan dengan baik. Disamping itu, dukungan terhadap jenis guest OS yang lebih luas dibandingkan software virtualisasi sejenis juga menjadi alasan lain mengapa saya lebih memilih untuk menggunakan software virtualisasi tersebut. Isu kompatibilitas dengan perangkat hardware yang digunakan (sebagaimana yang sering terjadi pada penggunaan bare metal hypervisor) juga dapat teratasi dengan penggunaan software virtualisasi desktop seperti VMware Workstation.
Terkait penyediaan home lab, sebenarnya dengan bermodalkan PC atau notebook berbasis Windows/Linux berikut spesifikasi teknis yang memadai, kita sudah bisa membangun home lab yang sesuai kebutuhan.
Sejauh ini pada perangkat PC untuk lab dirumah, saya masih menggunakan perangkat PC yang telah dibangun lebih dari 3 tahun yang lalu. Adapun spesifikasi teknisnya lengkapnya kurang lebih sebagai berikut:
- Processor: Intel Core i7 3690X Extreme Edition @ 3,3 GHz
- Motherboard: Asus Rampage IV Extreme
- RAM: Corsair Vengeance 64 GB Quad Channel DDR3 Memory Kit
- GPU: Zotac Geforce 980GTX AMP! Omega
- SSD: Corsair Force GT 120 GB (Operating System) & Corsair Force GS 480 GB (Virtual Lab Workspace)
- HDD: 1x WD Black 4 TB & 4x WD Black 2 TB
- PSU: Corsair HX1050
- Casing: Corsair Obsidian 900D
Sekalipun perangkat komputer berbasis arsitektur Intel Sandy Bridge-E tersebut sudah terbilang uzur untuk kondisi saat ini, namun saya melihat perangkat tersebut masih terbilang mumpuni untuk mendemonstasikan sejumlah skenario dengan topologi yang menarik serta menantang. Terakhir kali menggunakan perangkat home lab tersebut, saya bahkan dapat mensimulasikan skenario Cross VC NSX berikut integrasinya dengan modul solusi management DR seperti VMware SRM (Site Recovery Manager).
Atau contoh lainnya seperti simulasi integrasi NetApp Data Ontap Simulator dengan VMware SRM yang tampilan demo videonya juga pernah saya upload ke Youtube.
Kebutuhan akan keberadaan home lab sendiri sebenarnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan resource (dalam hal ini dana) dari masing-masing individu. Tidak jarang saya mendapati beberapa rekan menggunakan notebook sebagai sarana virtual home lab-nya. Namun dibeberapa kesempatan lain, saya juga melihat beberapa rekan seprofesi yang memang menyediakan sejumlah perangkat terdedikasi seperti perangkat PC barebone (misalnya Intel NUC) atau bahkan perangkat server ‘nyata’ berikut storage (yang tersedia melalui perangkat berbasis NAS atau SAN) untuk tujuan home lab tersebut.
Terlepas dari apapun jenis perangkat yang digunakan, menurut saya penyediaan suatu home lab tentu akan sangat membantu dalam menunjang proses pembelajaran, hingga menunjang aktivitas-aktivitas yang terkait dengan pekerjaan.